Buku Sajak Terakhir Steve Elu
Sekapur Sirih (-Pinang): Pengatar untuk Buku Puisi Sajak Terakhir
Buku
Buku Puisi Sajak Terakir Steve Elu

Judul: Sajak Terakhir (untuk Sang Ayah)
Penulis: Steve Elu
Penerbit: Teras Budaya
Terbit: Juni 2014
Jumlah Halaman: xii +92 halaman WB
Jenis Cover: Soft cover
Kategori: Sastra/Puisi

“tuan puisi selalu membawakan saya puah, manus, dan aob,
karena ia telah menganggap saya saudaranya, sesamanya,
bahkan dirinya. ia senantiasa membelah tabirnya untuk saya selami,
hingga ke sulur-sulurnya.”

Dalam budaya Suku Dawan – suku saya – (salah satu suku besar di Pulau Timor), puah (pinang), manus (sirih), dan aob (kapur) adalah materi yang kehadirannya menarasikan keakraban antarkeluarga dan antarsesama. Orang Dawan, juga semua orang Timor, mengenal proses memakan puah, manus, dan aob sebagai makan sirih-pinang.

Biasanya, puah, manus, dan aob diberikan kepada siapa saja yang bertamu ke rumah. Selain sebagai ucapan selamat datang, ia juga melambangkan penerimaan yang tulus dari rumah yang dikunjungi. Dalam acara-acara adat atau upacara besar lainnya, puah, manus, dan aob adalah tiga unsur yang tak terabaikan.

Puisi-puisi dalam sajak terakhir (untuk sang ayah) ini adalah puah, manus, dan aob tuan puisi. Ia mendatangi saya setiap saat, bahkan di saat saya tak siap menerimanya. Ia menjelma sebagai bunyi, tutur, pola laku, dan juga sebagai bisu-sunyi.

Saat ia tiba, ia membuka dirinya dan mengundang saya masuk, mengambil sekeping puah, sepotong manus, dan sedeta aob untuk saya kunyah, selami rasanya, dan akhirnya meludahkannya sebagai kata. Kata-kata yang lahir dari kunyah-selami itulah yang sekarang ada di tangan Anda.

Kumpulan sajak terakhir (untuk sang ayah) tidak lahir dari gelimang prestasi. Ia tidak datang dari pengalaman puncak (peak experience). Ia lahir dari pengalaman jatuh, pengalaman kehilangan, dan pengalaman ketiadaan.

Bahkan, tuan puisi datang dalam keseluruhan dirinya di saat saya kehilangan. Kehilangan yang saya maksud di sini adalah kehilangan ayah saya. Dan tuan puisi itu adalah ayah saya yang hilang dari pandangan, namun selalu datang kepada saya dalam puisi.

Karena itu, sajak terakhir (untuk sang ayah), pertama-tama ingin saya persembahkan kepada tuan puisi, ayah saya, yang telah membuka dirinya kepada saya. Di keningnya saya ingin semburkan sajak terakhir (untuk sang ayah) sebagai puah, manus, dan aob untuk membekali perjalanan pulangnya.

Kepada ibu, ingin saya rapalkan sajak terakhir (untuk sang ayah) sebagai doa. Ia adalah nyonya puisi yang selalu jatuh cinta kepada puah, manus, dan aob sehingga sanggup mengarungi sisa-sisa harinya dengan penuh gigih. Kepada saya telah ia lebarkan rahimnya sehingga saya bisa bermain-main kata di sana.

Untuk tuan dan nyoya puisi, rasanya ucapan terima kasih tak pernah cukup tandingi surya cinta kasih kalian. Tapi biarkanlah ia ada sebagai fatamorgana yang selalu memanggil saya untuk berlari lebih cepat ke pangkuan kalian. Terima kasih pula kepada tiga bidadari saya, Ivon, Ela, dan Edel, yang selalu hadir sebagai petir sekaligus pelangi.

Saya hanya menuliskan kata, namun kalianlah yang mengantarkanya, memilahnya, mengingatkannya, bahkan juga menghentikannya. Kepada ketiga ponakan saya, Rici, Leni, dan Aldo, saya kadokan sajak terakhir (untuk sang ayah) sebagai pinta dari ba‘i agar kalian giat menganyam cita dan karsa demi masa depan kalian.

Beruntai-untai terima kasih ingin saya hidangkan kepada Manneke Budiman yang sudah bersedia memberikan pengantar bagi kumpulan puisi saya yang sangat sederhana ini. Pada sebuah perjumpaan di FIB UI Depok pada 2012, beliau sangat menaruh apresiasi bagi karya-karya yang dipandang “sastra pinggiran”.

Maka, ketika saya hendak menerbitkan antologi ini, beliaulah salah satu orang yang saya mintai kesediaannya untuk memberikan pengantar. Syukur bahwa beliau masih konsisten dengan apa yang pernah ia ucapkan.

Terima kasih yang tak terhingga juga saya haturkan kepada Bung Remmy Novaris DM. Ia adalah sosok dalam media sosial Facebook yang penuh kehangatan. Saya masih ingat di suatu sore, Bung Remmy mengajari saya membuat puisi berdasarkan barang dan suasana yang ada di sekitar saya. Menariknya, tutorial itu disampaikan lewat chating di Facebook. Itu terjadi lantaran setelah membaca beberapa puisi saya, beliau merasa tak puas.

Sejalan dengan itu, terima kasih pula kepada Hans Hayon dan Gusti Fahik. Kemurahan hati kalian untuk membaca kumpulan sederhana ini sebelum terbit adalah kado sekaligus cambuk di kepalaku untuk lebih lihai menelusiri ladang tuan dan nyonya puisi. Biarkan potongan-potongan sajak terakhir (untuk sang ayah) ada sebagai kopi hangat dalam gelas kalian untuk diteguk sebagai rasa cintaku kepada kalian.

Akhirnya, sulaman terima kasih yang tak terhingga batasnya saya meteraikan kepada semua rekan di Majalah HIDUP dan para sahabat pengeja malam: Roy, Aura, dan Rony. Kalian adalah kunang-kunang yang selalu datang, meski kadang tak sanggup menerangi.

Namun, keindahan dan seni berkata-kata kalian tak pernah sanggup saya sebut tiada. Kepada semua kenalan dan hadaitaulan, saya kirimkan sajak terakhir (untuk sang ayah) sebagai petir sekaligus hujan, sebagai es sekaligus seteguk air putih. Semoga ia sanggup gelimangkan makna bagi pewartaan kita.

au nek seon banit neoba ala ki.
(Terima kasihku untuk kalian semua)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *