Buku Sajak Terakhir Manneke Budiman
Mengintip Puitika Masa Depan Steve Elu
Buku

Sebelum membaca naskah kumpulan sajak ini, saya belum pernah mendengar nama Steve Elu diperbincangkan dalam kancah perpuisian Indonesia. Ada banyak sosok pendatang baru dalam dunia kepenyairan yang muncul dan surut dengan cepat, tanpa pernah sempat meraih tempat layak di antara jajaran para penyair yang sudah malang-melintang terlebih dahulu.

Namun, saya melihat ada sesuatu yag berbeda serta istimewa pada sajak-sajak Steve Elu, yang lama baru sempat saya simak sejak ia mengirimkannya kepada saya beberapa bulan sebelumnya. Penyair muda yang relatif baru muncul ini memiliki kekuatannya sendiri, yang segera terlihat sejak awal kumpulan sajaknya.

Ia meramu modernitas dan tradisi dengan ringan dan terampil tanpa memperlihatkan adanya kegamangan. Padahal, menurut saya, inilah tantangan terbesar yang dihadapi para penyair di Indonesia, yang harus bekerja dengan peranti yang disediakan oleh tradisi luar sembari harus mencoba untuk membumikannya sebagai bagian dari yang lokal.

Ia merangkai kata dan gagasan dengan kehalusan perasaan, tetapi kita juga dengan kuat bisa merasakan adanya determinasi. Inilah hal yang pertama kali menyentak pada saat kita mulai menekuni sajak-sajaknya pada awal kumpulan ini.

Kelembutan dalam sajak-sajaknya adalah pengejawantahan kearifan lokal yang dengan setia tetap mengajari kita cara-cara melestarikan kehidupan. Sementara suara lantang dan lugas yang muncul silih-berganti dengan kelembutan itu adalah suara perlawanan terhadap gerusan modernitas yang membawa segerbong permasalahan sosial budaya bersama kedatangannya.

Kendati demikian, itu semua sama-sekali tidak berarti bahwa Steve adalah seorang tradisionalis yang anti-kebaruan. Apabila pada tataran gagasan terkesan kuat bahwa ia adalah seorang pembela pelestarian nilai-nilai tradisional, pada tataran bentuk justru Steve memperlihatkan kesediaannya untuk meninggalkan konvensi persajakan yang mapan.

Ia, antara lain, meniadakan penggunaan huruf kapital dalam sajak-sajaknya, serta tanda hubung yang lazimnya dipakai untuk kata-kata ulang. Semangat pembaruan bentuk ini hadir secara paradoks, namun harmonis dengan kekukuhannya untuk mempertahankan kearifan lama yang oleh modernitas cenderung untuk ditinggalkan.

Tidak banyak penyair yang mampu menciptakan paradoks seperti ini sembari tetap mempertahankan efisiensi penyampaian pesan-pesan utama sajak, terlebih oleh seorang pendatang baru. Namun pada sajak-sajak Steve, semuanya terlihat bagai komposisi sebuah orkestra yang dimainkan dengan ajek dan percaya diri sehingga terasa mengalir begitu saja, tanpa sendatan.

Gaya liris cukup dominan dalam membangun larik dan bait sajaknya. Akan tetapi sajak yang dihasilkan bukanlah sajak-sajak yang hanya sesuai untuk dihayati dalam batin sebagai permenungan-permenungan, melainkan sajak-sajak yang membuka diri mereka untuk dilantunkan. Dalam hal ini pun, Steve sudah memperlihatkan upaya untuk keluar dari arus utama kecenderungan puisi modern, yang kerap mengasosiasikan yang liris dengan yang personal sehingga mewujud dalam sajak-sajak yang sulit untuk dibacakan keras-keras di depan suatu khalayak.

Sebaliknya, nuansa liris yang hadir dalam sajak Steve justru mendukung suatu tindak pembacaan yang ekspresif, sebagaimana yang lazim kita dijumpai dalam tradisi pantun: sarat dengan muatan liris, namun membangun komunikasi dengan khalayaknya.

Pada puisi yang setia dengan tradisi modern barat, unsur liris biasanya digunakan untuk membangun suasana batin yang subtil dengan kandungan subjektivitas tinggi, yang menyebabkan sebuah sajak menjadi tak mudah untuk dipahami, apalagi dilantangkan.

Yang tidak mudah untuk dipolakan adalah impetus utama yang mendorong Steve menorehkan sajak-sajaknya. Jelas tampak adanya kecenderungan romantik untuk merenungi dan merindukan apa yang telah hilang atau sedang berlalu digerus zaman.

Juga ada banyak pelukisan pastoral yang kuat akan alam dan lingkungan rural, diselingi kadang oleh kegusaran dan kepedihan karena ia merasa tak berdaya untuk dapat menyelamatkan apa yang tersisa serba sedikit dari semuanya itu.

Namun, pada sebagian sajaknya yang lain, Steve juga tampil santai dan terkesan bermain-main dengan kata, imajinasi, dan sajak. Jadi, ada suasana batin berbeda-beda yang membuat pembaca mustahil untuk menemukan dengan pasti apa passion dan visi penyair yang sesungguhnya.

Sajak-sajaknya yang berformat prosa lebih banyak memperlihatkan kecenderungan ini, dan dari segi estetik, tak dapat menandingi kehalusan dan keindahan sajak-sajaknya yang merupakan hasil eksplorasi estetik atas bentuk-bentuk lama dan baru.

Saya melihat hal ini sebagai suatu masalah. Akan tetapi sangat boleh jadi ini semua mengindikasikan perjalanan yang belum usai dari seorang penyair muda yang masih mencari tetapi juga telah mulai menunjukkan sebagian identitasnya.

Hal penting lain yang dapat dengan gamblang kita saksikan di dalam sajak-sajaknya adalah elemen musikal. Entah sengaja atau tidak, Steve sepertinya menulis sajak sembari pada saat yang sama menggubah lagu. Sejumlah sajaknya, bila kita baca lamat-lamat di dalam hati, mengundang irama dan melodi. Ini didukung oleh pilihan diksi, yang memang membuka diri bagi suatu musikalisasi.

Bagi saya, ini pun merupakan warisan tradisi bersastra yang tua dan berakar kuat di kepulauan ini, yang dengan setia masih Steve munculkan dalam sajak-sajaknya. Jejak-jejak kelisanan itu, ketika mengalami transformasi menjadi tulisan, tetap setia membawa karakteristik kelisanan yang utama, yang pernah ada masanya menjadi bagian dari jiwa suatu syair, yaitu aspek musikal, yang di atas sudah saya singgung sedikit.

Mungkin saja Steve memang masih sedang dalam tahapan mencari format yang tepat untuk identitas kepenyairannya, yang di masa depan diharapkan akan menjadi “tanda tangan” khas dirinya. Namun, yang jelas, ia telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam beragam format, sebagaimana yang kita lihat pada eksperimentasi puitiknya dalam kumpulan ini. Tinggal soalnya adalah bentuk mana yang paling memberi rasa nyaman dan kepercayaan diri kepada penyairnya.

Masalah estetika seperti ini pada ujungnya tidak dapat dilepaskan dari posisi pribadi Steve, yang dibentuk oleh segenap pengetahuan dan segala pengalaman hidupnya yang ia enyam selama ini. Bagaimanapun juga, estetika adalah juga sikap politik pengarang, visi hidupnya, dan sekaligus arena pergulatan penciptaannya.

Ia bukan sekadar pelengkap dandanan diri yang setiap saat bisa diganti seperti berganti baju. Sukses perjalanan hidup kepenyairan seorang pengarang sebagian besar dipengaruhi oleh seberapa serius dan komit ia terhadap pilihan estetiknya.

Alam yang keras di kampung halamannya rupa-rupanya juga mendapat tempat cukup penting dalam sajak-sajak Steve. Ia bercerita tentang sumber air yang mengering, padahal sangat vital sebagai sumber kehidupan. Mengeringnya sumber air ini dilukiskan oleh penyair dengan kata-katanya, “kami baru saja menguburnya / ia meninggal di hari itu, tahun itu” (“kabar air”). Ini sebuah imaji yang kuat dan keras.

Hilangnya air disetarakan dengan sebuah peristiwa kematian, tidak saja matinya sumber penghasil air yang amat penting tetapi juga petaka buruk yang mungkin ditimbulkan oleh matinya sumber tersebut. Air tak hanya menjadi imaji dominan dalam sajak ini, tetapi juga dalam banyak sajak yang lain, dan konotasinya tidak selalu berkenaan dengan kematian.

Di tangan Steve, air bisa menjadi ekspresi cinta, harapan, dan kesejukan jiwa. Air dalam kumpulan puisi ini adalah simbol cairnya pilihan bentuk, gagasan, serta nada yang masih terus bergerak dan belum menemukan muaranya.

Wujud romantisisme lain dalam kumpulan ini adalah tingginya frekuensi kemunculan imaji-imaji universal yang kini sudah kian konvensional, seperti bulan, matahari, malam, fajar, dan hujan. Dalam sajak-sajak yang bernapaskan sentimentalitas dan mengandung imaji-imaji tersebut, Steve tidak tampil secara istimewa.

Kadang ada kesan klise, walaupun iamji-imaji itu berusaha ia gunakan dengan cara yang menyegarkan. Demikian sajak-sajak cintanya yang, menurut saya, tidak menggedor kemapanan pembaca dalam berhadapan dengan puisi, seperti halnya yang mampu dilakukan oleh sajak-sajaknya yang lain.

Kekuatan Steve jelas tidak terletak pada sajak-sajak sentimental, yang secara filosofis nyaris tidak menawarkan pemikian ataupun permenungan apa-apa. Saya yakin bahwa, tidak terlalu lama dalam proses pematangan puitika sajak-sajaknya, Steve akan meninggalkan kecenderungan yang seperti ini dan menemukan kekuatan utamanya, yakni suatu estetika yang ia bangun lewat perpaduan harmonis antara apa yang diwariskan oleh tradisi dan apa yang ditawarkan oleh modernitas.

Di dalam setiap perjumpaan ataupun perbenturan antara yang lama dan yang baru, selalu ada yang hilang, walaupun terkadang juga ada yang lahir dari situ. Sajak-sajak Steve tak luput merekam atmosfir melankolis sebagai wujud sesal atas kehilangan yang terjadi. Desa dikontraskan dengan kota, diberi metafor fajar yang sebentar menyingsing lalu dengan cepat tenggelam oleh hiruk pikuk rutinitas kehidupan urban.

Penyair sampai harus “mengajak sepi” untuk pergi bersamanya karena di kota yang kini ia tinggali, ia merasa sendiri dan bukan siapa-siapa. Taman kota menjadi pelabuhan terakhir tempat ia masih dapat merindukan apa yang telah hilang, walau di tempat itu juga ia harus kembali terjaga dari mimpi masa lalu yang segera pupus (“menuju taman”).

Imaji serupa muncul kembali dalam sajak lainnya, “pulang”, ketika penyair berkata, “aku ingin mengajakmu / pulang ke gubuk sepi / rindu itu kian renta”. Ada sesal, ada ketakberdayaan yang diwujudkan dalam kepasrahan, dan ada kerinduan yang tak mau pergi.

Semuanya adalah simptom melankolia: ketidaksediaan untuk membiarkan yang telah berlalu untuk pergi selamanya. Di sini kita bisa menemukan jejak-jejak estetika Steve yang sedang dibangunnya secara terserak dan masih berbentuk potongan-potongan puzzle yang belum jadi.

Steve tampaknya cukup sadar bahwa ia lahir dalam generasi penyair yang menerima semua warisan dunia dalam perpuisian. Di masa kini, sungguh tidak mudah menemukan sesuatu yang baru, sebuah revolusi persajakan yang mampu menggegerkan dunia, atau suatu bentuk baru yang belum pernah digali sebelumnya.

Ia adalah bagian dari generasi penerima dan pelaku reproduksi, bukan generasi perintis yang menelurkan konsep maupun bentuk baru. Kepiawaiannya akan diukur dari sejauh mana ia mampu meracik dan meramu segenap warisan itu sehingga melahirkan sintesis yang tadinya tak terpikirkan karena belum semua bahan mentahnya tersedia. Seperti dikatakannya dalam sebuah sajaknya, “segala puisi sunyi telah terbaca / semua sajak baik sudah terlafal” (“kisah berguguran”).

Di dalam kancah seperti ini, originalitas barangkali bukan nilai tertinggi yang dilihat orang pada sebuah sajak. Sangat boleh jadi, di dalam sajak itu kita bisa melacak kehadiran alusi-alusi ke mitos yang telah lama mapan, metafor yang pernah mengundang decak kagum ketika pertama kali ditelurkan seorang penyair terdahulu, dan pengaturan metrik serta pemilihan diksi yang cukup dapat kita kenali dalam karya penyair lain sebelumnya.

Kita bisa mendeteksi jejak-jejak para penyair besar dari masa lalu yang turut membentuk sajak-sajak penyair muda ini. Ini sebuah fenomena serta proses yang wajar dan boleh dikata sangat alamiah, khususnya pada masa kini, ketika gagasan-gagasan besar telah nyaris aus dituangkan.

Maka, keistimewaan seorang penyair masa kini lebih dinilai dari kreativitasnya dalam memakai sumber yang ada dan berlimpah itu, sehingga ia boleh menorehkan jejak tangannya di lorong ketenaran bersama nama-nama besar yang telah terlebih dulu menorehkan karya cipta mereka di sana.

Apakah yang diratapi oleh Steve adalah tiada laginya masa ketika seseorang masih bisa menghasilkan sebuah originalitas, di samping zaman yang telah berlalu serta dunia yang telah berubah?

Jika kita menangkap suasana melankolis yang cukup kentara dalam sajak-sajak Steve, kita melihat melankolia itu erat dijajarkan dengan perpisahan sebagai sebuah momen yang menusuk jiwa.

Setidaknya, ada tiga sajak dalam kumpulan ini yang khusus bertutur tentang perpisahan. Ketiga sajak berjudul “perpisahan” ini dikemas dalam intensitas liris yang padat tetapi mengalir dan mengalun, meski kabar yang disampaikannya adalah sebuah berita perih tentang kehilangan—sebuah perpisahan.

Di dalam ketiga sajak ini, waktu menjadi variabel utama pembangun makna dan suasana. Permainan yang dinamis dalam pemaknaan atas senja, malam dan fajar secara efektif membangun atmosfir kehilangan, kerinduan, dan kepergian.

Dalam proses pencarian akan penanda dirinya yang khas lewat berbagai eksperimentasi dengan puitika, Steve pun tampaknya merindukan masa ketika originalitas belum menjadi kemustahilan dan ‘penciptaan’ adalah kata dengan makna yang penuh, bukan sebatas daur ulang atau reproduksi.

Kesadarannya bahwa masa itu sudah berlalu dan yang tinggal cuma mimpi atau ilusi diejawantahkan oleh penyair dengan pilihan kata yang teramat membumi dan sederhana, yang kerapkali dianggap sudah menjadi klise serta kehilangan daya pikatnya sebagai bagian dari diksi puitis, seperti sungai, daun, hujan, kicau burung, pelangi, dan angin.

Namun, Steve menggarap semuanya itu dengan sensibilitas serta kepekaan yang tajam. Kata-kata yang nyaris sudah kering daya magisnya itu seolah memperoleh geliat hidupnya kembali dan tampil dengan kesegaran dan sentilan baru. Sekali lagi, Steve menunjukkan bahwa puitika atau, dalam kerangka lebih luas, estetika tidak selalu membutuhkan originalitas dan revolusi.

Beberapa sajaknya malah memancarkan kekuatan yang cukup mencengangkan karena berhasil mengawinkan yang liris dan yang prosais. Kita seperti melihat kelugasan Chairil Anwar yang berpadu dengan kelembutan Hartoyo Andangjaya, misalnya, dalam sajak “di rumah”:

di sudut rumahnya tergantung
bebunyi yang melengking
kabur dari kamar

saban hari jendela kian kumal
diterjang badai caci yang kian mekar
kelopaknya dibawa angin hingga ke teras
lalu bertualang ke segala penjuru

di belakang rumah
bergelantungan damai yang lesu
menyaksikan jantung rumah berdebu

Steve mampu menangkap sebuah pemandangan sederhana yang sama sekali tidak menarik ataupun penting, dan dengan daya imajinasi yang tinggi, menciptakan kisah, membuat yang sederhana dan diam menjadi kaya dengan gerak dan vitalitas.

Namun, pada saat yang bersamaan, kita pun tahu bahwa apa yang sedang ia lukiskan secara cermat dengan kata ini tak lain dan tak bukan adalah sebuah rumah yang telah kehilangan jiwanya, mati, dan dibiarkan hancur secara perlahan-lahan.

Mengeksploitasi hal-hal sederhana yang sama sekali tidak menarik perhatian serta menyulapnya menjadi sebuah momen puitis yang menawan inilah semestinya yang akan jadi keunggulan Steve di masa akan datang, saat ia menjejakkan namanya di jajaran para penyair terkemuka Indonesia masa depan.

Ini adalah masa depan yang direngkuh dengan kepala tak lupa menengok ke belakang, menatap tradisi yang hilang, namun “tercatat di lorong angin” dan menjadi “sejarah yang selalu kukenang”, kata penyair ini dalam salah satu sajaknya (“mata”).

Maka, gagasan akan “rumah” yang sangat kerap muncul dalam banyak sajak Steve pun mengundang sebuah spekulasi. Apakah rumah yang selalu dirujuknya masih menjadi bagian dari kekinian dirinya atau sudah menjadi sejarah masa lalu?

Jika ini adalah rumah puitis, tempat estetika sajak-sajak Steve menemukan sumber hidupnya, maka kesintasan penyair ini di masa depan adalah sedikit banyak ditentukan oleh apakah ia bisa mengisi rumah masa lampau itu dengan reramuan kata dan pemikiran, sehingga rumah itu tak hanya menjadi sesuatu yang dicatat sebagai kenangan, melainkan tetap menginspirasi sang penyair dengan berbagai imajinasi tentang masa depan.

Pada kumpulan sajak inilah kemungkinan-kemungkinan jawabannya dapat ditelusuri dan ditemukan apabila pembaca cukup jeli dan cermat menangkap sensibilitas serta sensitivitas Steve.

Dimensi baru yang muncul sesudah pembacaan kita mencapai lebih dari separuh kumpulan sajak ini adalah sebuah spiritualitas. Yang Ilahi, yang tadinya senyap dan tak tampak dalam sajak-sajak awal, kini mewujud dalam larik dan bait sejumlah sajak Steve.

Apakah ini gambaran samar dari masa depan yang dilukis saputan demi saputan dalam benak penyair? Kita tak tahu pasti. Yang jelas, kesederhanaan—yang merupakan kekuatan utama Steve—kembali menjadi intens pada tahap ini, dan kegalauan estetis yang sempat menginterupsi dengan sedikit kegenitan untuk menutupi gejolak itu surut secara perlahan.

Steve seperti kembali menemukan formatnya—rumah puitis yang hendak direnovasinya—yang boleh jadi adalah jangkar di penghujung perjalanan yang ditempuhnya untuk mencari bentuk, yakni bentuk yang akan dieraminya “dalam doa / sehingga ia mekar / sebagai anggur di ladang / para penyair”, sebagaimana ia janjikan pada akhir salah satu sajaknya (“kabar darimu”).

Pada akhirnya, ada kesadaran bahwa warisan masa lampau tak bisa ditolak, seberapapun besar keinginan untuk menggali yang sama sekali baru untuk masa depan. Steve menerima beban puitika yang sudah dipahat oleh generasi panjang para penyair dan kini dibebankan di pundaknya untuk dijaga kehidupannya.

Bukannya seluruh kegamangan dan kecemasan kini pupus, namun dalam kebingungan yang masih tersisa, diterimanya amanat itu: “kau lahir dari puisi yang ditanam ayah di pondok”. Dan sang penyair menjawab, “ya sudahlah. mungkin aku / adalah anak dari tuan dan nyonya puisi.” Amin.

Maka, kita berharap, ketika sajak terakhir dalam kumpulan ini habis terbaca, perjalanan merajut masa depan puitika Steve Elu akan terus dapat kita amati, dan pada setiap kelok, semoga kita akan bisa menyaksikan sesuatu yang baru sedang bertunas.

*Manneke Budiman, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Artikel ini diterbikna bersama buku “Sajak Terakhir (untuk Sang ayah).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *