Semiotika John Fiske

PENDAHULUAN

Awalnya, tak ada rencana mengulik semiotika John Fiske. Malah, saya belum pernah dengar atau baca namanya, kala di bangku S2 dulu. Lagipula, saat dosen membahas tema semiotika, nama Roland Barthes dan Ferdinand de Saussure lebih dominan disebut dibanding yang lain. Bahkan, nama tokoh semiotika lain seperti Julia Kristeva dan Umberto Eco baru saya ketahui ketika menelusuri literatur tambahan perihal semiotika ini.

Maka, sudah pasti nama John Fiske luput. Memang, kalau mundur jauh ke belakang, nama orang ini pernah saya dengar. Tapi itu berpuluh tahun silam. Mungkin 2008, ketika saya mengambil mata kuliah “Filsafat Modern” di STF Driyarkara; diampu Dr. F. Budi Hardiman, yang sekarang bergelar Profesor. Setelah itu, saya tak pernah lagi dengar nama Fiske.

Dan baru-baru ini, tetiba ada permintaan masuk via kolom komentar TikTok saya, @dunia-dosen. Dengan setengah memohon, si penanya minta dijelaskan tentang semiotika John Fiske. Sebentar lagi mau sempro, katanya. Wah, ini urgen betul, pikir saya. Jujur, saya tak punya koleksi buku tentang semiotika Fiske. Jangankan buku, Fiske disebut ikut omong tentang semiotika saja baru saya dengar.

Tapi tak masalah. Sebagai pengasuh konten yang baik, saya tetap berniat untuk menjawab pertanyaan si pemohon. Googling adalah cara awal memperoleh informasi pengantar. Betul, ada dua buku yang menjelaskan tentang pemikiran Fiske di bidang ilmu komunikasi.

Pertama, “Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif”, dan kedua, “Pengantar Ilmu Komunikasi”. Saya belum tahu juga apakah dua buku ini membahas secara komprehensif semiotika Fiske.

Jalan satu-satunya untuk memastikan adalah pergi ke perpustakaan. Selama ini, saya sering mencuri kesempatan baca di perpustakaan kampus S2 saya dulu, Universitas Mercu Buana Meruya. Maka, saya pun singgah ke sana. Meski kenyataannya, hanya buku pertama yang saya temukan.

Sembari itu, beberapa jurnal hasil googling, saya baca dengan cermat. Setidaknya, potongan-potongan informasi itu sedikit memberi gambaran tentang semiotika John Fiske.

Artikel yang ada di hadapan Anda sekarang adalah hasil pembacaan saya atas sejumlah penjelasan tentang semiotika John Fiske. Semoga sedikit membantu si pemohon untuk menjawab kegundahannya, atau mungkin Anda selanjutnya yang bakal terjerumus dalam gundah serupa. Jika belum puas dengan uraian ini, silakan kunjungi dua buku yang sudah saya sebutkan di atas.

PEMBAHASAN

Seperti bisa, mari kita awali dengan mengenal Fiske. John Fiske adalah seorang tokoh komunikasi yang datang dari Inggris. Ia lahir di Bristol, Inggris, pada 12 Sepembter 1939, dan meninggal pada 12 Juli 2021.

Ia meraih gelar BA dan MA di bidang Literatur Inggris dari Cambridge University, di mana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh aktivis Raymond Williams. Beberapa bidang keilmuan yang dapat kita sebut sebagai keahlian Fiske adalah cultural studies, analisis kritis atas budaya populer, semiotika media, dan kajian televisi.

Perlu dicatat di muka bahwa Fiske adalah seorang penganut perspektif post-strukturalisme. Aliran ini lahir sebagai reaksi atas strukturalisme yang digawangi oleh Ferdinand de Saussure. Fiske menentang pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda dalam semiotika adalah sesuatu yang mengikat, dan tidak memberi kemungkinan akan terciptanya kreativitas tanda-tanda baru.

Bagi Fiske dan post-strukuralisme, (Piliang, 2010: 259), tanda dalam semiotika justru membuka ruang bagi model-model bahasa dan pertandaaan yang kreatif, produktif, subversif, transformatif, bahkan terkadang anarkis. Dalam bukunya, Culture and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Kompehenresif, Fiske menjelaskan bahwa komunikasi adalah berbicara satu sama lain.

Pada tataran ini, komunikasi bisa dipahami dalam konteks dari pesan yang disampaikan melalui televisi, sebagai penyebaran informasi; atau bisa juga dalam bentuk komunikasi non verbal seperti gaya rambut, dll. Fiske yakin semua komunikasi melibatkan tanda (sign) dan kode (codes).

Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menandakan construct. Sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain.

Asumsi lainnya adalah bahwa tanda-tanda dan kode-kode itu ditrasmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain dan penerimaan tanda/kode/komunikasi adalah praktik hubungan sosial.

Bagi Fiske, penonton TV atau pemirsa bukanlah subjek pasif, melainkan subjek aktif. Ia menolak asumsi bahwa pemirsa hanya pasif menerima makna yang ditawarkan oleh sebuah tayangan. Fiske menolak anggapan bahwa di hadapan sebuah tayangan penonton tidak berpikir dan hanya menerima begitu saja apa yang ditampilkan.

Menurutnya, justru pemirsa yang punya latar belakang berbeda-beda mencoba menangkap makna teks yang ada dalam sebuah tayangan. Karena Fiske menganggap tayangan televisi sebagai teks. Dan dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda itulah, pemirsa berusaha menangkap makna yang terdapat dalam tayangan.

Untuk mengungkap makna dari sebuah tayangan televisi, Fiske mengusulkan tiga tahapan atau level yang harus dilalui. Ketiga level tersebut adalah level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Pada level realitas, kata Fiske, acara televisi menampilkan realitas peristiwa dalam tampilan pakaian, lingkungan, perilaku, percakapan, gestur, ekspresi, suara, gaya bicara, dan sebagainya. Semua bentuk tayangan televisi benar-benar menampilkan sesuatu yang nyata atau sesuai fakta yang ada di masyarkat.

Sebagai contoh, apabila sedang memberitakan peristiwa banjir bandang, maka televisi menampilkan gambar banjir yang melanda rumah penduduk, rumah-rumah yang tergenang banjir, tempat pengungsian, dan sebagainya. Itulah realitas. Apa yang nyata, yang terjadi di lapangan.

Level representasi adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu melalui sesuatu yang di luar dirinya (realitas), biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2010:19). Representasi dalam tayangan televisi berkaitan dengan teknik pengambilan gamar, lighting, editing, musik, dan suara.

Dalam teks tertulis berupa kata, kalimat, proposisi, dan lain-lain. Di sini termasuk juga narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, dan pemeran. Elemen-elemen inilah yang kemudian ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan realitas.

Level terakhir adalah level ideologi yakni sistem kepercayaan dan sistem nilai yang direpresentasikan dalam berbagai media dan tindakan sosial (Piliang, 2010:16). Dalam level ini, semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriaki, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya.

Maka, buat Anda yang hendak melakukan penelitian semiotika dengan pisau analisa semiotika John Fiske, yang harus Anda lakukan adalah menganalisa tayangan atau film yang hendak Anda teliti ke dalam tiga tahapan ini. Anda perlu mengelaborasi secara lengkap unsur-unsur apa saja yang muncul pada level realitas dan ketengahkan unsur-unsur yang dikategorikan dalam level representasi.

Dari penelitian dua level ini akan tertangkap dengan jelas level ideologi yang diusung dalam sebuah tayangan. Level ideologi bisa kian menguatkan pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah tayangan atau film atau bisa juga hadir untuk melegitimasi praktik-praktik ideologis yang tengah berkembang dalam masyarakat.

SIMPULAN

John Fiske memberikan opsi yang cukup menarik dalam kajian semiotika. Penelitian-penelitian semiotika bisa merujuk semiotika Fiske ini sebagai pisau analisa terhadap sebuah tayangan televisi atau teks. Dan, teks bagi Fiske bukan saja apa yang tertulis, namun sebuah tayangan pun adalah teks. Umumnya, semiotika Fiske ini digunakan untuk menganalisa film atau program tayangan dalam televisi.

Namun, perlu saya tegaskan di sini bahwa dalam sebuah penelitian, bukan teori mana yang cocok dan teori mana yang tidak cocok. Tapi apa yang hendak dicari oleh seorang peneliti dalam sebuah penelitian. Apa tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah penelitian. Ketika tujuan penelitian ini jelas, maka pilihan teori atau pisau analisa mana yang cocok akan jadi lebih mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Piliang, Yasraf A..2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Trivosa Pah dan Rini Darmastuti. “Analisis Semiotika John Fiske dalam Tayangan Lentera Indonesia Episode Membina Potensi Para Penerus Bangsa di Kepulauan Sula”, dalam Communicare, Vol. 6, No.1.

*Ditulis oleh Stefanus Poto Elu, S.S, M.I.Kom: Dosen Ilmu Komunikasi pada FISIP Universitas Bung Karno; alumnus Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *