Review Buku Parinseja Steve Elu
Dan Kita pun Diundang ke ‘Timor’
Buku

(Steve Elu, “Parinseja” dan Anamnetik Jiwa)

Mungkin, di antara barisan penyair yang dilahirkan oleh Timor, Steve Elu dalam kumpulan sajak terbarunya Parinseja (Tasikmalaya: Motion Publishing, 2015) adalah yang paling obsesif menghadirkan karakter anamnetik jiwa dalam sebuah kembara yang dihela oleh kekuatan imajinatifnya, dan berhasil mengajak kita untuk selalu pulang.

Ya, pulang kepada asal-mula kita, pulang kepada apa yang oleh Julia Kristeva disebut sebagai dimensi melankolik dari jiwa seseorang (1). Tentu pulang tidak dalam pengertian fisik.

Memang, banyak penyair, cerpenis maupun novelis telah menulis dengan warna romantisme semacam itu, tetapi yang khas pada puisi-puisi Steve adalah karakter anamnetik itu tidak sebatas dihadirkan sebagai tanda (signifier) dan apa yang hendak ditandai (signified), lebih jauh merupakan sebuah peristiwa tentang keberadaan diri, tentang kehadiran dan tempat dalam bahasa sebagai sebuah peristiwa (event). Dan sebagai peristiwa, ia memerlihatkan aisthēsis khas Timor yang saya masukkan dalam kategori estetika tragedi. Saya akan kembali kepada ini sebentar lagi.

Menurut saya, untuk mampu menyelam ke dalam benak si Parinseja, yang harus kita telisik sebenarnya bukan hanya tentang isu yang dihadirkan oleh Steve, melainkan juga bagaimana ia mengatakannya, apa yang ia pilih, apa yang harus digabungkan antarsatu sama lain.

Ini disebabkan karena posisi Steve bukan sebagai seorang yang berbicara sebagai satu orang kepada semua orang, tetapi lebih sebagai suara bahkan peristiwa reflektif anamnetik, yang menghadirkan sebentuk reenactment bahwa dirinya, diri saya, diri kita, keberadaan kita dibentuk secara mendalam oleh peristiwa apropriatif (Ereignis) yang menyertai saat-saat penting dalam hidup.

Hegel menyebutnya kehadiran langsung dan merupakan prinsip (arche) pengalaman (der Mensch selbst dabei sein müsse) (2). Oleh sebab itu, Parinseja tidak hadir sebagai teks hasil dialektisasi imajinasi dan pengalaman, yang biasa kita sebut sebagai lingkaran hermeneutis tetapi sebagai hasil relasi hermeneutis dalam pengertian Heidegger akhir (3).

Dengan demikian bersama Kipling kita bisa mengatakan bahwa –nine and twenty ways of studying tribal lays, and every single one of them is right ~ banyak jalan memelajari madah suatu suku bangsa, dan masing-masing jalan itu benar.”

Kita dapat memelajarinya karena ia tidak hadir sebagai sesuatu yang asing, tetapi sebagai sesuatu yang dapat kita alami sebagai peristiwa. Parinseja tampil sebagai sebuah peristiwa pikiran tentang pikiran sebagai peristiwa.

Parinseja adalah pikiran yang berada dalam sebuah perjalanan (Gedanken-gang), sebuah pikiran yang berkata-di-dalam-antara (Zwiesprache), sebagai pikiran di dalam sebuah epos yang berulang (Übergang) (4).

Dengan begitu, terlihat bahwa Parinseja menyangkut peristiwa yang dapat terus dihidupi, yang pada level imanen-transendental merujuk pada karakter anamnetik dari pikiran dan jiwa kita (5).

lengking sene mengudara
semisal pekik bocah telanjang kaki pagi hari berlari-lari ke masa depan
tempat guru menulis mimpi-mimpi

ditabuh dari batu penghancur jagung katemak

dan ia mulai menari. Ia menari

dan ia mulai menari. Ia menari
bersama tetua yang telah menyemburkan puah manus
sewaktu ritual perutusan ke medan tempur,
yaitu ladang petualangan

(sajak ―ia terus menari‖)

Steve dalam Parinseja serupa anti-tesis Sutardji Calzoum Bachri menurut garis pembacaan saya. Jika Sutardji bilang bahwa dengan puisi-puisinya ia bermaksud menceraikan setiap teks dari warisan usang yang menuntutnya seperti makna dan pesan yang sebenarnya dibebankan kepadanya oleh masyarakat, Steve sebaliknya mewakili apa yang pernah ditulis oleh Edward Said bahwa:

―[T]exts are worldly … a part of the social world, human life, and of
course the historical moment in which they are located and interpreted.
… The realities of power and authority – as well as the resistances offered by men, women and social movements, to institutions authorities and orthodoxies – are the realities that make texts possible, that deliver them to their readers, that solicit the attention of criticism.‖(6)

Steve tangkas menautkan karakter anamnetik jiwa dengan bahasa sebagai peristiwa melalui kekuatan imajinasi sehingga berhasil menghadirkan tradisi bukan sebagai fatalisme fakta, ke dalam bahasa yang membahasakan dirinya sendiri.

Memang, sajak-sajaknya pada saat tertentu begitu menghasut ingin, ingin ke sana, membangkitkan dalam diri suatu inkrementalitas kedekatan tetapi pada lain saat membuat orang perlu berpikir ulang dan kalau mungkin menanggalkan keinginannya.

Parinseja oleh Steve ditempatkan dalam suatu spiral antara imajinasi dan pengalaman sehingga menjadi serupa laboratorium estetis pengalaman-pengalaman religius dan atau kuasi-religius. Dalam puisi-puisinya, bersitumpang tindih rindu dan takut, berganti asa dan putus asa serupa tenunan.

Oleh karena itu, secara tipologis menjadi inskripsi puitis dari semua intensitas yang meningkat menggetarkan tentang lika-liku religio-eksistensial yang dengan padat dirumuskan oleh Rudolf Otto sebagai kombinasi rasa tremendum et fascinosum. Tentang menggoda ingin, Steve menghadirkan demikian:

bait-bait perayu musim
melingkar di kepala ibu-ibu nonmeob
sementara bapak-bapak terkatup kalbu ungu

kepada Nossa Senhora di selatan, segala kalbu menuju
kepada Antonio Lagnio di utara, semua harap mengarah
kepada Fransisco Xavier di timur, sekalian mohon menumpu
kepada Don Louis IX di barat, segenap puja-puji memanjat

serupa rindu membiak
begitulah doa kami akan butir-butir hujan,
ketika musim tanam tiba. mengucur deras.

rogare ialah rayu paling purba
dalam kemasan ujud merdu
di antara debur ombak faefnafu

(sajak ―rogare‖)

Pada bagian lain, Steve ingin menunjukkan daerahnya seperti apa adanya, dan tidak bermaksud mengusulkan sebuah dunia kemungkinan, sebuah proposed world dalam pengertian Ricoeur. Ia menghadirkan dunia yang bisa membuat orang meriding dan bisa takut untuk pergi kepadanya.

Persis di sini, dengan mengakarkannya pada Timor, kejujuran tentang tradisi berkultur yang menduduki teks seperti tertuang dalam Parinseja agak berbeda bila dibandingkan dengan Novel Likurai untuk Sang Mempelai dari Robertus Fahik.

Dalam Likurai untuk Sang Mempelai ada kesengajaan ‘untuk menggelapkan (verdunkelt) fakta sosial mengenai―suanggi lewat mulut Manek Mesak bahwa perilaku kultural semacam itu tidak ada, walaupun bukan hal utama dalam keseluruhan alur peristiwa novel tersebut membangun dirinya (7).

desa yang gulita itu kini berdentang
mengiang ke pucuk-pucuk bibir

nenek mati tanpa sakit, bapa tua
sesak napas, adik bungsu badan panas,
mama muda mengerang di kamar, tapi tak jua beranak.
sudah tiga malam mereka bergulat di tangan tim doa

kalau akhirnya mereka semua mati
tim doa ialah pembantu tuhan yang kalah
di tangan suanggi
dan hidung suanggi kembang kempis
karena memenangkan pertarungan

(sajak ―Oepoli)

tak ada yang mampu melampaui
suanggi di tanah kami.
tidak juga kau, Tuhan,
pun deras limpah ampun-Mu

(sajak ―Suanggi)

Dengan demikian, esensi puisi yang nampak di sini adalah memisahkan sekaligus menyatukan, di dalam sebuah peristiwa bahasa tentang imbal-hubung antara realitas yang mengatasi dan suara dari bawah, antara sesuatu yang dicari dengan penuh harap sekaligus sesuatu yang dengan penuh kecemasan coba dihindari.

Parinseja seolah berdiri di antara tuhan dan umatnya, antara tuhan dan para suanggi, dan lebih dari itu antara bahasa dengan suara, antara pembaca dengan bahasa. Sebagai contoh, sajak ―Oepoli‖ dan ―suanggi‖ memerlihatkan bahwa puisilah yang dapat mengeluarkan kita ke dalam sebuah “antara‟ (8) antara tuhan dan umat atau antara tuhan dan suanggi sebuah imajinasi sebagai peristiwa.

Namun, yang pertama dan hanya dalam‗yang-antara‘ ini – sebab itu saya menyebut relasi hermeneutis -kita dapat memilah secara jelas mana manusia dan di mana ia menempatkan kehadirannya: kita dalam dunia tapi bukan dari dunia, bukan dari dunia tetapi faktanya dalam dunia. Puitisasi peristiwa dengan karakter anamnetik sedemikian membuat manusia tinggal (embedded in) dalam dunianya, ke dalam dirinya.

Di sinilah, orisinalitas anamnetik dalam puisi-puisi Steve terlihat. Parinseja ingin menyatakan bahwa tentu saja kita dapat mengakui dari mana kita berasal, seperti apa kita sebenarnya dalam hubungan dengan akar kita dan kepadanya kita dapat menimba kekuatan yang selalu baru bagi kembara kita, tetapi untuk itu kita sedapat mungkin mengalaminya sebagai sesuatu yang baru, sesuatu yang selalu hadir sebagai awal.

Karakter anamnetik ini memertemukan dimensi subjektivitas seseorang dengan tempatnya. Mental subjek, karakter identitas-diri dari subjek, dan konsepsi diri adalah hal-hal yang dapat ditemukan oleh subjek dalam hubungan dengan tempat. Parinseja itu – a path for engaging the exilic character of thought as well as for exploring the exilic grounds of the configurations of self, community, and the phenomenon called world (9).

Parinseja itu thinking on the way, perjuangan untuk melawan ketercerabutan eksistensial. Tentu saja tempat atau dunia dalam pengertian Heidegger tidak hanya suatu ruang fisik dalamnya suatu entitas bisa diposisikan, tetapi wilayah, suatu cakrawala anamnetik tempat kita bisa menemukan diri kita yang diberikan kepada dunia dan kepada eksistensi kita dalam dunia (10).

Dengan demikian, bisa disebut bahwa apa yang menyata lewat Parinseja bukanlah suara yang harus dihadapkan dengan apa yang disuarakan, sebaliknya suara itu sendiri yang bersuara tentang suara, sebagai suatu tarian ada (Seyn) di jalannya, a poetry of kinesis. Kalau berangkat dari cakrawala semacam itu, lewat Parinseja kita bisa memahami signifikansi dari apa yang ditulis oleh Hölderlin bahwa:

―it is the land of your birth, the soil of your homeland, what you seek, it is near, already comes to meet you… Gate, and sees and seeks loving names for you,… This is one of the land’s hospitable portals, Enticing us to go out into the much-promising distance.‖(11)

Tentu saja, Steve punya banyak cara ketika mengungkap karakter anamnetik tersebut. Dalam sajak ―merdeka‖, Ia menghadirkan tiga pertanyaan: ―adakah kau lebih biru/dari hamparan Laut Sawu?/ adakah kau lebih tegar dari/ haluan kapal nelayan di Selat Ombai?/ adakah kau lebih lapang/dari sabana di tanah Timor?/‖.

Di sini terlihat bahwa puitisasi ada (being) berupa pertanyaan dapat menjadi cara seorang penyair menghadirkan karyanya sebagai sebuah simbol anamnetik. Ia sekaligus membuka dan menutup (concealment- revelation).

Selain itu, pengkontemplasian atas alam turut memprovokasi jeritan kekaguman sekaligus penegasan diri, siapakah kami sebenarnya. Penegasan semacam ini dapat terjadi melalui puisi sebagai kehadiran anamnetik. Cara ini bersifat spiritual, dan karena spiritual maka ia mengakar dalam dunia, punya Sitz im Leben atau setting kulturalnya.

Itulah mungkin alasannya mengapa Steve menghadirkan tiga hal sebagai penanda dalam kaitan dengan karakter anamnetik: laut, selat dan padang sabana. Dalam pemahaman saya, ketiganya menyimbolkan keterbukaan tak terbatas jiwa untuk pulang kepada dirinya sendiri.

Kita memang dilahirkan untuk laut, selat dan padang- padang sabana, tetapi hal tersebut hanya mungkin kita pahami secara paling intens jika kita selalu kembali pada apa yang paling dalam dari jiwa kita.

Di sana, diperlukan keterbukaan untuk menerima apa yang diberikan kepada jiwa kita oleh diri kita, sekaligus kerendahan hati untuk mengambil apa yang bisa kita ambil.

Derrida menulis bahwa di hadapan ―samudera kata-kata—sea of words‖ sebagaimana ungkap Plato12 atau ―padang kata-kata‖ dalam istilah saya, kita dituntut mengembangkan kapabilitas tertentu kalau ingin ―mengambil‖ dari dalam laut, selat atau padang sabana tersebut apa yang kita inginkan: sebuah kata, sebuah kalimat, surat, isi atau makna tertentu dengan tujuan menopang maksud kita.

Derrida lalu mengungkapkan bahwa membaca mengandaikan being capable of reading a writing. Capable itu datang dari kata capere yang berarti mengambil. Maka membaca bersangkut paut dengan kemampuan, kapabilitas, kapasitas jiwa dalam tindakan mengambil (13).

Jadi pertama- tama menyangkut tindakan mengambil, sehingga menjadi peristiwa dan bukan menyangkut apa yang mau diambil. Tentu saja kita membutuhkan hasil atau objek, apa itu sebagai sesuatu, tetapi jika

hasil diutamakan maka kapasitas mengambil itu menjadi instrumental. Inilah yang membentuk jiwa seseorang. Jiwa adalah hamparan maha tak-berhingga yang menerima apa saja yang dihujankan kepadanya oleh mata dan tangan: berjiwa hunters, atau pastoralist, atau ranchers dalam dunia semasa yang berlogika teknologi ini (14).

Kalau demikian, dalam lain hal, Parinseja menjelma antitesis atas wajah paling ‗representatif‘ berdasarkan setting kekuasaan- pengetahuan-institusional tentang Timor secara umum. Wajah kemiskinan membentuk sedemikian rupa imajinasi masyarakat luar Timor tentang tanah dan orang-orang setanahnya, karena yang diutamakan adalah apa yang bisa diambil darinya.

Hasil yang paling nyata dari prasangka kultural-politis yang mengeras meringkus nalar: bahwa Timor sebagai satu identitas tak lebih dari kumpulan orang miskin yang terjebak dalam tradisi, adat, mistisisme, suanggi dan sejenisnya.

Modernitas lalu hadir sekadar tempelan yang menyelubungi orang-orang setanahnya. Maka Timor yang di Timur Indonesia adalah geografi imajinatif mengenai taman kemiskian yang tetap eksotis bagi kekuasaan yang melayani dirinya sendiri.

aku mencium bibirmu yang asin
di kerikil pantai yang purba
celah segala miskin berakar

aroma pembunuh menjilat-jilat
mengitari tiang-tiang harapan
penopang duduk para tetua kampung

mereka mendaraskan doa
dari kisah masa lalu
semisal mimpi hanya untuk dikenang
setelah malam dipecah-belah pagi

kata mereka,
kemiskinan itu seumpama matahari
yang memanggang langit hingga arang
dan kita menyebutnya malam

ia masih akan kembali, esok
bersiaplah!
sekali lagi kita masih harus mengarunginya

(sajak ―mengarungi kemiskinan‖)

Secara semiotis, penempatan sajak ―mengarungi kemiskinan‖ di antara sajak ―rogare‖ dan sajak ―suanggi‖ memerlihatkan sesuatu yang menarik. Bila dicermati dalam pertalian dengan pengalaman-pengalaman religio-eksistensial terlihat bahwa kemiskinan semacam titik inklusio konsentris (titik gepe-gepe ~ istilah RD. Michael Valens Boy, Pr. Lic. Biblicum), pusat, nexus, atau pusaran berlangsungnya intensitas tentang yang tremendum e t fascinosum (khiastik).

Kemiskinan dapat menciptakan pendoa yang setia dalam arti eksistensial, bukan materialisme, tetapi pada sisi lain kemiskinan menjadi lahan subur bagi keberadaan ‗suanggi‘. Artinya, dalam kemiskinan seseorang diposisikan untuk dengan

keberanian menentukan tempatnya: menjadi pengikut tuhan atau menjadi suanggi, mengikuti hantu.
Lalu di mana atau mana yang bisa kita sebut sebagai estetika tragedi? Kemiskinan membuat kehidupan menjadi sangat sulit.

Hidup menjadi keras. Mengada dalam situasi demikian, momen-momen peristiwa yang menyenangkan, menggembirakan menjadi saat-saat orang sejenak melepaskan/melupakan apa yang memberatkan. Kegembiraan sebagai ekstasis-transendensi adalah momen katarsis bahkan dapat muncul dalam situasi yang paling mencekam sekalipun.

Dalam habitus orang Timor, mengental apa itu estetika tragedi. Pesta adalah saat orang melupakan sejenak penderitaannya. Di dalam pesta, lagu dengan syair dan musik yang bernada sedih bisa membuat orang menari gembira.

Kesedihan yang menggembirakan, sebuah peralihan yang serta-merta dan berlangsung: sedih ke gembira ke sedih ke gembira itulah yang saya maksud sebagai estetika tragedi. Secara literer dapat dibandingkan dengan mazmur-mazmur tepĭllâ dalam tradisi biblis.

pesan dari asap di ujung sarungmu
ialah santapan lezat bagi tunas-tunas harapan
yang sudah kami sebut-sebut dalam mohon

di setiap kibarannya
gelisah tak kepalang tanggung menimpa
serupa detik-detik jelang lector melesatkan flagra

tapi bukan untuk segenggam dera
melainkan pijakan untuk mengejar cita
yang terus memanggil dari bubungan rumah

di balik lekukan sarungmu berjubel ribuan tanah
yang saban subuh siap mengucur ke pusar embun
yang lugu cerah

(sajak ―di ujung sarungmu‖)

Bahwa orang tetap hidup, menghayati keadaannya, menerimanya tanpa sebuah penyelidikan akademis kalkulatif kuasi-ilmiah terlebih dahulu serupa di televisi-televisi, ‗mengarungi kemiskinan‘ dengan kesetiaan sambil sekali ‗pesta hujan‘ adalah sesuatu yang membuat orang tetap kuat setia dalam ziarahnya.

Dengan karakter anamnetik jiwa dalam perspektif estetika tragedi inilah bisa kita pahami mengapa masyarakat kita dicap senang membuat pesta. Pesta membuat orang tetap hidup, menatap esok dengan gembira dan berani, walau itu berarti membuat mereka tetap miskin.

Pesta itu serupa ―imaging‖ yakni dimensi yang terus muncul, karakter melankolistik seseorang. Tentu saja dari perspektif yang berbeda, semua orang tidak ingin miskin sehingga barangkali benar kata Aristoteles bahwa mereka yang serakah sering kali adalah orang yang terus-menerus membicarakan orang miskin.

Puisi-puisi dalam Parinseja adalah olahan bahasa, yakni bahasa yang membahasakan dirinya, bahasa yang menghadirkan diri sebagai peristiwa anamnetik. Maka, Parinseja tidak hanya menyangkut subjek, ya subjek yang terbuang. Lebih dari itu, ia adalah peristiwa itu sendiri, peristiwa yang membuat seseorang menjadi ada.

Ini tidak berarti saya mendukung cara pandang dan cara hidup yang menimpa Parinseja yang sebagai perempuan tidak diinginkan kehadirannya oleh ayahnya sendiri. Tetapi bahwa Parinseja adalah peristiwa dan sebagai peristiwa, ia menyangkut diri kita sendiri, bagaimana kita menemukan diri dan menjadi diri sendiri dalam setiap keterbatasan yang kita alami.

Parinseja sebagai sebuah perjalanan anamnetik adalah sebuah estetika tragedi: pergi kepada ‗Timor‘,15 pergi kepada diri sendiri, kepada luka diri kita, menemukan diri sendiri ‗pada fajar dan senja‘ di sane.

Catatan-catatan akhir:

  1. Cf. Julia Kristeva, Black Sun: Depression and Melancholia, trans. Leon S. Roudiez, (New York: Columbia University Press, 1989), p. 9.
  2. Hegel sebagaimana dikutip oleh John Sallis, Force of Imagination: The Sense of Elemental, (Bloomington: Indiana University Press, 2000), p. 29.
  3. Tentang pembedaan ini sudah pernah saya ulas dalam Yasintus T. Runesi, -John D. Caputo tentang Hermeneutika dan Etika Diseminasi‖ dalam Frans Asisi Datang, dkk (peny.), Persembahan bagi Harimurti Kridalaksana: Peneroka Linguistik Indonesia, (Depok: Departemen Linguistik FIB – UI, 2014), p. 265.
  4. Alejandro A. Vallega, Heidegger and the Issue of Space, (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 2003), p. 169.
  5. Cf. Johann Baptist Metz, ―Anamnestic Reason: A Theologian‘s Remarks of the Crisis in the Geisteswissenschaften” dalam Axel Honneth, et al. (eds.), Cultural- Political Interventions in the Unfinished Project of Enlightenment, trans. Barbara Fultner, (Cambridge, MA: The MIT Press, 1992), pp. 189-196.
  6. Edward Said, ―Secular Criticism‖, dalam The World, the Text and the Critic, (London: Faber, 1984), pp. 3-5.
  7. Tentang problem penggelapan ini sudah saya ulas dalam Yasintus T. Runesi, Tarian, Pengakuan dan Politik dalam Novel Robertus Fahik Likurai untuk Sang Mempelai‖ dalam Fakultas Seni Rupa dan Desain, Prosiding Seminar Nasional Seni Tradisi: Keragaman Tradisi sebagai Warisan Budaya, 16 & 17 Desember 2014, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2014), pp. 499-512.
  8. Frase ini dijelaskan dengan cara yang menawan oleh Derrida sebagai ―la chance de la rencontre” yakni kesempatan mengenai kesempatan bertemu, suatu kemungkinan untuk bertemu namun pertemuan itu tak dapat direduksi kepada kehadiran atau ketidakhadiran. Pengalaman religius sebenarnya memerlihatkan hal itu. Jacques Derrida dalam Sean Gaston, Derrida, Literature and War: Absence and the Chance of Meeting, (London: Continuum, 2009), p. 62.
  9. Vallega, Heidegger and the Issue of Space, p. xii.
  10. Cf. Jeff Malpas, Heidegger‟s Topology: Being, Place, World, (Cambridge, MA: Cambridge University Press, 2006), p. 211.
  11. Martin Heidegger, Elucidations of Hölderlin‟s Poetry, trans. Keith Hoeller, (New York: Humanity Books, 2000), p. 27.
  12. Plato, Parmenides, 137a, dalam Plato Complete Works, ed. J. M. Cooper, (Cambridge: Hackett Publishing Company, 1997).
  13. Gaston, Derrida, Literature and War, p. 68.
  14. Cf. Tim Ingold, Being Alive: Essays on Movement, Knowledge and Description, (London: Routledge, 2011); Cf. Tim Ingold, Hunters, Pastoralist, and Ranchers, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988).
  15. _Timor‘ dalam bahasa Latin berarti ketakutan.

Sintus Runesi, tinggal di sintusrunesi@gmail.com.

*Ulasan Sintus Runesi (sekarang sudah menjadi Imam Keuskupan Agung Kupang) terhadap buku Parinseja, dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang, Edisi 37, Mei 2015.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *