Roland Barhtes Mitos dan Ideologi

Dalam semiotika Roland Barthes, mitos dan ideologi mendapat perhatian cukup penting. Orang lalu bertanya, apa yang dimaksud dengan mitos dan ideologi dalam semiotika Barthes? Apakah keduanya memiliki makna yang sama? Di mana posisi mereka? Dalam tulisan ini kita akan mengulas secara detail bagaimana memahami mitos dan ideologi dalam semiotika Roland Barthes. Di akhir artikel, saya akan mengemukakan sebuah contoh singkat analisis mitologi dan ideologi ala semiotika Barthes untuk mempermudah pemahaman.

Perlu diingat bahwa Roland Barthes mengembangkan pemikiran semiotikanya dengan merujuk pada semiotika Ferdinand de Saussure. Dua orang ini adalah tokoh penting yang mengembangkan kajian semiotika di daratan Eropa. Saussure sendiri adalah seorang ahli linguistik dari Swiss, sementara Barthes adalah seorang filsuf dan kritikus sastra asal Prancis. Keduanya menganut paham strukturalme.

Dalam bidang semiotika, banyak sumber menyebutkan Barthes adalah tokoh semiotika yang sangat penting setelah Saussure. Salah satu sumbangan penting Barthes adalah pemaknaan tataran kedua dalam analisa tanda (sign). Ini ia kembangkan dari pemikiran Saussure. Kalau Saussure melihat makna teks atau tanda sebatas makna denotasi, maka Barthes membawa pemaknaan tanda itu ke level yang lebih tinggi. Ia menyebutnya makna konotasi. Karena Barthes yakin bahwa setiap tanda tidak hadir dengan makna tunggal.

Mitos dan Ideologi

Merujuk peta tanda Roland Barthes di atas, tampak tanda denotatif terdiri dari penanda dan petanda. Dan pada tingkat lebih lanjut, tanda denotatif tersebut adalah penanda konotatif, di mana hubungan penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi, dan melahirkan makna konotasi.

Pada peta tanda tersebut, Barthes menempatkan mitos pada level makna konotatif. Budiman (2001:28) menjelaskan bahwa Barthes mengidentikan konotasi dengan operasi ideologi, yang disebutnya mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi yakni penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah sebuah sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2003:71). Mitos bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language).

BACA: Semiotika John Fiske

Barthes menyatakan bahwa mitos juga merupakan sistem komunikasi karena mitos merupakan sebuah pesan. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidak dapat digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan (Piliang, 2003:256).

Bila merujuk pada mitos ala Barthes tersebut, maka ideologi seringkali bersembunyi di balik mitos. Pendapat ini didasarkan pada keyakinan bahwa mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.

Ketidaksadaran ini merupakan kerja ideologi yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena sebuah proses tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, bersamaan dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Mitos itu bermacam-macam (dalam jumlah yang sangat banyak) dan berkembang dalam masyarakat. Usia mitos tidak panjang; sebuah mitos bisa berlalu dengan cepat karena digantikan oleh mitos-mitos lainnya.

Anang Hermawan dalam artikelnya “Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes” menjelaskan, sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi.

Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.

Cara Kerja Mitos dan Ideologi

Cara kerja mitos dan ideologi sebagaimana dimaksudkan oleh Barthes ini dengan mudah dapat kita temukan dalam masyarakat kita. Ia bisa hadir dalam bentuk teks tertulis di media-media online, atau dalam bentuk audio-visual melalui televisi atau konten media sosial, atau juga melalui gambar-gambar yang bertebaran di internet. Hampir setiap hari kita mengkonsumsi mitos dan ideologi tanpa kita sadari.

Saya ingin mengemukakan sebuah contoh untuk mempermudah pemahaman mengenai operasi mitos dan ideologi tersebut. Misalnya, televisi memberitakan sebuah peristiwa kekerasan di Tangerang. Si pembaca berita mengatakan, seorang pria diduga melakukan tindak kekerasan kepada beberapa orang di Tangerang. Pria berkulit gelap itu memukul tiga pria lain sehingga menyebabkan ketiga pria itu cedera parah.” Dari kalimat ini kita bisa menemukan operasi mitos dan ideologi. Mitos kita temukan dalam frasa “berkulit gelap”.

Dalam konteks ini, secara tidak langsung teks tersebut menampilkan mitos kepada pemirsa bahwa kekerasan banyak dilakukan oleh orang (pria) berkulit gelap. Dengan demikian, makna mitos yang timbul adalah kekerasan atau kejahatan diidentikkan dengan orang-orang berwarna kulit gelap.

Ideologi yang muncul di sini adalah ideologi ras. Jadi, ras dari orang-orang berkulit hitam dipandang sebagai pelaku kejahatan atau identik dengan tindak kekerasan. Bayangkan bahwa bila teks seperti ini seringkali tampil kepada pembaca atau didengar oleh pemirsa, maka ideologi itu akan tertanam dalam benak masyarakat kita. Ideologi bisa tumbuh dan berkembang dalam konteks yang lain, misalkan gender, feminisme, patriarki, individualisme, kapitalisme, dan lain sebagainya.

Daftar Rujukan

  1. Anang Hermawan. 2008. “Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes”, dalam https://www.averroes.or.id/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes.html, diakses pada 21 April 2023, pukul 20.00 WIB.
  2. Budiman, Manneke. 2001. “Semiotika dalam Tafsir Sastra: Antara Riffaterre dan Barthes” dalam Bahan Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LP-UI.
  3. Piliang, Yasraf Amir.2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
  4. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

*Ditulis oleh Stefanus Poto Elu, S.S, M.I.Kom, Dosen Ilmu Komunikasi pada Fakultas FISIP Universitas Bung Karno. Alumnus Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *