Strukturalisme dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Strukturalisme merupakan sebuah teori umum dalam berbagai kajian disiplin ilmu seperti sosiologi, antropologi, arkeologi, sejarah, filsafat, dan linguistik.

Strukturalisme mengkaji budaya dan metodologi yang menekankan bahwa unsur-unsur budaya manusia harus dipahami dalam hubungannya dengan sistem yang lebih luas. Strukturalime bekerja untuk mengungkap struktur yang mendasari semua hal dalam masyarakat.

Secara etimologis struktur berasal dari kata bahasa Latin yakni structura, artinya bentuk atau bangunan. Struktur sendiri adalah bangunan teoretis (abstrak) yang terbentuk dari sejumlah komponen yang berhubungan satu sama lain.

Struktur menjadi aspek utama dalam strukturalisme. Strukturalisme juga beranggapan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia.

Kalau kita lihat latar belakang perkembangannya, strukturalisme mengalami evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dan tercatat, strukturalisme hadir dengan menentang teori mimetic yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan, teori ekspresif yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.

Di daratan Eropa, strukturalisme berkembang pada awal 1900-an. Francois Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralisme menggambarkan strukturalisme pada tahun 1966 sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa, khususnya di Prancis.

Sementara strukuralisme tahun 1967-1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan.

Dua tokoh strukturalisme

Pembahasan kita kali ini tentu bukanlah tentang strukturalisme secara umum, atau setidak-tidaknya strukturalisme masyarakat ala Marxisme.

Meski tak dapat dipungkiri bahwa pola berpikir Marxisme tentang struktur sosial masyarakat tetap menjadi frame berpikir atau setidaknya menjadi cantelan ketika kita membahas struktur sosial masyarakat dalam tatanan ilmu komunikasi.

Kita juga tidak membahas secara detail perihal strukturalisme sebagai sebuah teori dalam ilmu sosial. Pembahasan kita fokus pada pandangan strukturalisme dalam ilmu komunikasi.

Untuk membantu kita dalam memahami strukturalisme dalam ilmu komunikasi, saya mengajak kita untuk mengarahkan pandangan pada dua sosok berikut: Ferdinand de Saussure dan Pierre Bourdieu.

Mengapa dua tokoh ini saja, sementara tokoh strukturalisme dalam komunikasi cukup banyak? Saya berpendapat, sebagai langkah awal mengenal strukturalisme, baik kalau menjadikan dua tokoh ini sebagai referensi.

Ferdinand de Saussure sebagai “Bapak Strukturalisme dan Linguistik”, sementara Pierre Bourdieu adalah tokoh komunikasi yang mengkaji dan mengelaborasi struktur dalam tatanan masyarakat universal. Pandangan kedua orang ini penting untuk dipelajari dengan lebih cermat.

Sementara tokoh strukturalime lain, semisal Roland Barthes yang semula mengikuti pandangan Saussure namun pada akhirnya menentang Saussure, saya lebih gemar membahas pemikirannya dalam tema semiotika.

Lalu Claude Levi-Strauss, dalam hemat saya lebih banyak mengelaborasi strukturalisme dari sudut pandang antropologi, sampai ia dijuluki “Bapak Antropologi Modern”. Tokoh-tokoh lain bisa kita pelajari pemikirannya di lain kesempatan.

Ferdinand de Saussure

Ferdinan de Saussure lahir di Jenewa, Swiss, pada 26 November 1857. Keluarganya merupakan keluarga terpandang di Jenewa, sebab kontribusi mereka dalam ilmu pengetahuan sangat besar.

Semula, Saussure menempuh kuliah fisika dan kimia di Universitas Jenewa. Tapi dia hanya bertahan di sana kurang dari satu tahun. Pada 1875, ia pindah ke Universitas Leipzig untuk belajar bahasa.

Lalu, pada usia 21 tahun ia mulai belajar bahasa Sansekerta selama 18 bulan, dan pada saat itulah ia menerbitkan memoirnya yang sangat terkenal berjudul Memoire sur le systeme primitif des voylles dans les langues indo-europeennes (Memoir tentang Sistem Huruf Hidup Primitif dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa) (Sobur, 2003:45).

Sekitar tahun 1960, nama Saussure sangat jarang terdengar. Di lingkungan akademik, tidak banyak orang yang mendengar namanya. Tapi sesudah tahun 1968, detak intelektual Eropa dipacu oleh buah pemikiran Saussure melalui karya-karyanya yang mulai beredar dan dibaca luas.

Karyanya, Course in General Lunguistics, kian melambungkan nama Saussure hingga ke luar lingkungan linguistik. Maka tidak heran kemudian Saussure dinobatkan sebagai Bapak Strukturalisme dan Linguistik (Sobur, 2003:45).

Mengapa ia dijuluki demikian? Saussure diyakini sebagai orang pertama yang merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat digunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural.

Saussure berpendapat, linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom.

Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya.

Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi, kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh Saussure sebagai semiologi.

Alex Sobur (2003: 46) menulis, ada lima padangan dari Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yakni:

a. Siginifier dan signified

Pandangan Saussure menegaskan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda. Dan setiap tanda tersusun dari dua bagian yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.

Sementara petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Kata Saussure penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas.

Contoh, kalau kita mendengar kata “rumah” atau melihat tulisan “rumah”, maka dalam bayangan kita langsung muncul konsep tentang “rumah”.

b. Form dan content

Untuk menjelaskan form (bentuk) dan content (meteri, isi) Saussure menunjuk permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan bidak catur tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah fungsinya yang dibatasi dan aturan permainannya. Jadi bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya.

Contoh lain untuk semakin memahami hal ini. Misalnya, kita menumpang KRL dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Cikini. KRL tersedia pada pukul 09.30, 09.42, dan 09.52. Hari Senin kita naik KRL Manggarai – Cikini, pukul 09.30. Selasa kita naik KRL pada jam yang sama, dan kita mengatakan “kita naik KRL yang sama”.

Namun faktanya, nomor keretanya berbeda, masinisnya berbeda, gerbong berbeda, dll. Maka, yang tetap di sini adalah “wadah” KRL tersebut, sementara isinya berbeda-beda.

c. Langue dan parole

Langue adalah sistem bahasa. Sementara parole adalah kegiatan ujaran. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya dan diterima oleh kalangan masyarakat tertentu. Sementara parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu atau praktik berbahasa setiap individu.

d. Synchronic dan Diachronic

Dua kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni khronos (waktu), dan dua awalan yakni syn artinya bersama dan dia artinya melalui.

Jadi, Synchronic artinya bersama waktu dan diachronic artinya melalui waktu. Yang dimaksud dengan sinkronik sebuah bahasa adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu massa).

Sinkronik mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu. Perhatian ditujukan pada bahasa sezaman yang diujarkan oleh pembicara. Misalnya, menyelidiki bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun 1965.

Sementara diakronik adalah menelusuri waktu. Jadi studi diakronik atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah (melalui waktu). Misalnya, studi diakronik Bahasa Indonesia dari tahun 1965 – 2023. Apa saja perkembangannya, apa perubahannya, dll.

e. Syntagmatic dan Associative

Sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur dalam sebuah konsep bahasa yang tersusun secara rapi dan punya makna tertentu. Sementara asosiatif atau paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur dalam sebuah bahasa atau konsep di mana belum muncul kalau kita belum melihat keseluruhannya.

Misalnya, secara sintagamtik kata “K-A-T-A” ini sudah tersusun rapi dan punya makna tertentu. Ketika sebuah huruf hilang atau pindah tempat maka ia tidak bermakna lagi. Sementara untuk memahami asosiatif atau paradigmatik, kita bisa menggunakan beberapa kata yang bunyinya hampir sama, seperti RATA – KATA – BATA.

Secara fonemik, kata-kata ini punya hubungan paradigmatik karena huruf terakhir pada setiap kata sama. Memang, huruf awal berbeda tapi ketiganya memiliki kemiripan bunyi.

Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu lahir di Denguin, Prancis, pada 1 Agustus 1930. Dia merupakan salah satu filsuf, sosiolog, dan antropolog penting di paruh abad ke-20; yang berpengaruh besar dalam ilmu sosial seperti kajian filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, ilmu politik, ekonomi politik, teori pendidikan, feminisme, teori sastra, kritik seni, dan teori komunikasi.

Bourdieu mengambil kuliah jurusan filsafat di Ecole Normale Supérieure, yaitu sebuah universitas prestisus bagi calon intelektual di Prancis. Setelah menamatkan kuliahnya, dia bekerja sebagai pengajar di Lycée de Moulins, kemudian menjadi asisten Raymond Aron, sambil mengajar secara paralel di Universitas Lille dan Universitas Paris. Ia meninggal karena kanker paru-paru pada 23 Januari 2002 di Paris.

Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme, dan eksistensialisme, di bawah pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.

Pada tahun 1960an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori objektivis dan teori subjektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul Outline of A Theory of Practice di mana di dalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.

Dalam karyanya ini ia menyerang kaum strukturalis yang menciptakan objektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial.

Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbagai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.

Ada tiga konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Mari kita elaborasi satu per satu.

a. Habitus

Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial.

Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan lalu diwujudkan”.

Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki.

Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.

b. Field

Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu.

Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field-lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.

Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.

Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, di mana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.

c. Modal

Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan penting, karena modal-lah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada empat modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial.

Pertama, modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Keempat, adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu pengetahuan objektif tentang seni dan budaya, cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi, kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelar-gelar universitas), kemampuan-kemampuan budaya dan pengetahuan praktis.

Simpulan

Saussure dan Bourdieu telah memperlihatkan kontribusi mereka dalam strukturalisme. Saussure secara jelas melihat linguistik atau bahasa terdiri dari struktur-struktur yang perlu dikaji.

Struktur-struktur tersebut bisa jadi terbentuk dari kebiasaan, budaya, status sosial, dan lain sebagainya. Lima pandangan Saussure itu secara jelas memperlihatkan bagaimana bahasa terbentuk dari struktur-stuktur yang membawa kesan dan pesan tertentu dalam relasi sosial manusia.

Sementara dari Bourdieu kita melihat bahwa fokus Bourdieu adalah lingkungan masyarakat di mana lingkungan itu turut mempengaruhi komunikasi orang-orang yang berada di lingkungan itu.

Bagi Bourdieu pada akhirnya komunikasi itu memperlihatkan struktur kehidupan sosial, tempat di mana seseorang tumbuh dan berkembang, dan kesanggupan seseorang menguasai modal sehingga bisa menguasai komunikasi.

Rujukan

  1. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustakan Gramedia
  2. Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
  3. Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Depok: Prenada Media Grup.
  4. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

*Ditulis oleh Stefanus Poto Elu, S.S, M.I.Kom, Dosen Ilmu Komunikasi pada Fakultas FISIP Universitas Bung Karno; Alumni Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Artikel ini dibuat sebagai pegangan dan panduan belajar untuk mahasiswa.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *