Pertanyaan Mendasar Filsafat
Filsafat dan Pertanyaan-pertanyaan yang Belum Terjawab
Filsafat

Saya anggap kata filsafat bukan kata yang baru kita dengar. Entah sengaja atau pun tidak, saya percaya, istilah filsafat harusnya pernah singgah di pendengaran kita.

Sebagai sebuah ilmu, filsafat memang banyak dibicarakan di area kampus. Kampus-kampus yang memiliki Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Hukum, dan Fakultas Humaniora, filsafat banyak mendapat tempat untuk dipelajari oleh mahasiswanya.

Di luar lingkungan kampus, ada komunitas-komunitas kecil yang secara independen menunjukkan minat pada filsafat dengan menggelar diskusi-diskusi rutin. Biasanya diskusi itu dipandu oleh seseorang yang lulusan Jurusan Filsafat, atau setidak-tidaknya oleh mereka yang sudah mempelajari filsafat dengan cukup serius.

Di media sosial Indonesia, perbincangan seputar filsafat juga kian berkembang. Filsafat rupanya menjadi topik hangat dan punya daya tarik di dunia virtual. Banyak orang muda yang menaruh minat serius pada disiplin ilmu yang satu ini.

Sebut saja, channel YouTube “Ngaji Filsafat” yang dipelopori Dr. Fahruddin Faiz. Melalui channel ini, Dr. Fahruddin Faiz menyampaian hasil bacaan dan belajarnya dengan monolog dan jarang sekali menampilkan wajah.

Namun pembahasan pada tiap videonya ditonton hingga ribuan kali. Demikianpun tayangan diskusi-diskusi filsafat yang digagas oleh Salihara, Komunitas Utan Kayu, dan Majalah Basis. Tiap materi yang diunggah selalu mendatangkan banyak pengunjung.

Hal-hal ini bisa kita jadikan indikator minimal bahwa filsafat rupanya mulai menemukan tempat di hati masyarakat Indonesia, dan dari berbagai kalangan. Meski tidak terafiliasi dengan lembaga tertentu yang membahas membahas filsafat, keingintahuan orang muda untuk mencicipi filsafat tumbuh di mana-mana.

Saya sendiri pernah merekomendasikan buku “Dunia Sophie” melalui akun TikTok yang saya buat, @dunia.dosen. Dan itu juga direspon dengan sangat baik.

Ada yang berkomentar bahwa ia sudah membaca buku itu, ada yang bertanya di mana ia bisa membeli bukunya, dan ada juga yang mengatakan ia sudah membeli buku tersebut dan mulai membacanya.

Minat akan filsafat memang layak menjangkau semakin banyak orang. Sebab, dalam sejarah perkembangannya filsafat telah meletakan dasar yang sangat kuat bagi orang-orang yang mempelajarinya untuk mencermati, mengolah, menilai, dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi dalam keseharian hidup manusia.

Filsafat menuntut orang untuk mempertanyakan sekaligus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kehidupannya.

Apa itu Filsafat?

Sebagai langkah awal mengenali filsafat, ada baiknya kita melihat pengertian filsafat dengan pertanyaan apa itu filsafat?

Filsafat berasal dari Bahasa Yunani, yakni “philosophia”. Kata ini merupakan gabungan dari dua kata yakni, philos atau philein dan sophia. Philos berarti cinta (dalam arti yang luas), sementara sophia berarti bijaksanaan.

Jadi, seraca etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Sejak ribuan tahun yang lalu, banyak sekali filsuf yang mencoba mengartikan filsafat. Kita bisa menemukan banyak sekali rumusan pengertian dengan penekanan-penekanan tertentu.

Plato (427-347 SM) mengartikan filsafat sebagai kritik atas pendapat-pendapat yang ada. Menurutnya, kearifan dan pengetahuan intelektual diperoleh melalui proses pemeriksaan secara kritis, diskusi, dan penjelasan.

Muridnya yang termasyur, Aristoteles (384-322 SM) mengatakan, sebagai sebuah ilmu filsafat menyelidiki hal ada sebagai hal ada yang berbeda dengan bagian-bagiannya yang satu atau lainnya.

Francis Bacon (1561-1626) menyebut filsafat sebagai induk agung dari ilmu-ilmu. Filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.

Rene Descartes (1590-1650) menulis bahwa filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

Sementara Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Berfilsafat dari Konteks (Jakarta: Gramedia, 1999) mengartikan filsafat sebagai usaha tertip metodis yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak mau hanya membebek saja, yang tidak mau menelan mentah-mentah apa yang sebelumnya sudah dikunyah oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkiritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu.

Perkembangan filsafat sebagai sebuah tradisi keilmuan memiliki karakteristik sesuai dengan tempat di mana ia tumbuh dan berkembang. Tentu saja sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi di mana ia tumbuh. Pada umumnya, para filsuf sepakat untuk membagi sejarah filsafat menjadi empat tradisi besar, yakni filsafat India, Cina, Islam, dan Barat (Mufid, 2009:11).

Namun dalam pembahasan kali ini, saya hanya akan menyinggung tentang perkembangan filsafat di Barat. Saya mencoba untuk mengklasifikasikan ciri filsafat Barat awal ini ke dalam tiga bagian kecil yakni masa Pra-Socrates, masa Socrates, dan masa Pasca Socrates.

Masa Pra-Socrates

Umumnya filsuf-filsuf Pra-Socrates memfokuskan konsentrasinya pada alam semensta. Maka pertanyaan-pertanyaan seperti apa itu alam semesta, mengapa alam semesta berbentuk seperti ini, siapa yang menciptakan alam semesta, dan lain sebagainya, menjadi pertanyaan-pertanyaan yang coba dijawab dengan filsafat.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para filsuf berusaha untuk mengesampingkan peran dewa-dewi yang menjadi ciri khas masyarakat Yunani pada masa itu.

Seorang filsuf yang dapat kita sebut sebagai filsuf pertama yang mencoba untuk mendeskripsikan alam semesta ini adalah Thales. Ia berasal dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia Kecil (Gaarder, 2010: 70).

Menurutnya, bumi atau alam raya ini terbuat dari air. Pemikiran ini ia dapatkan setelah berkeliling ke berbagai tempat dan menemukan bahwa alam raya, termasuk manusia, sangat bergantung hidupnya pada air.

Setelahnya, muncul filsuf yang sangat diperhitungkan pemikirannya, yakni Parmenides (kira-kira 540-480 SM). Parmenides memikirkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak muncul dari ketiadaan. Segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada.

Selanjutnya, Heraclitus (540-480 SM) dari daerah Efesus, mengatakan bahwa segala sesuatu terus mengalir, bergerak terus-menerus, dan tidak ada yang tetap. Lalu, Empedocles yang hidup kira-kira 490-430 SM yakin bahwa alam terdiri dari empat unsur atau akar yakni tanah, udara, api, dan air.

Masa Socrates

Lalu petualangan kita tiba pada filsuf besar dan terkenal hingga hari ini, yakni Socrates. Di era Socrates, kajian filsafat bukan lagi soal alam semesta, melainkan bergeser ke manuasia. Manusia sebagai pusat diskusi dan pertanyaan-pertanyaan filsafat.

Socrates dilahirkan di Athena, Yunani, dan hidup antara 470-399 SM. Socrates dapat disebut sebagai filsuf yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa (Gaarder, 2010: 115).

Ia adalah pelopor atau pemikir yang terus-menerus mengganggu manusia untuk berpikir terhadap dirinya sendiri.

Di masa Socrates inilah filsafat dibawa ke pasar atau alun-alun kota (agora) untuk didiskusikan. Ia berbicara, mengajukan pertanyaan, dan berdiskusi dengan siapa saja yang ia temui. Di pasar, Socrates bisa berbicara berjam-jam tanpa henti.

Meski demikian, Socrates tidak pernah menulis. Ia meninggal tanpa meninggalkan catatan apa pun, termasuk pemikiran-pemikirannya. Buah-buah pemikirannya justru kita dapatkan dari Plato, muridnya. Dari karya-karya Plato inilah kita mengenal dialektika Socrates, yang kemudian dikembangkan oleh Plato dan filsuf-filsuf setelahnya.

Masa Pasca Socrates

Plato sendiri kemudian menjadi seorang filsuf besar, yang oleh banyak ahli dianggap filosof paling besar segala zaman (Magniz-Suseno, 2006: 11). Dan filsuf ulung setelah Plato adalah Aristoteles yang mempunyai peran penting dalam perkembangan ilmu dan kebudayaan Eropa.

Aristoteles adalah murid Plato yang termasyur dari zamannya hingga sekarang. Itu karena ia telah menciptakan terminologi-terminologi yang masih digunakan hingga saat ini. Ia adalah seorang organisator ulung yang mendirikan dan mengklasifikasikan berbagai ilmu (Gaarder, 2010: 178).

Pertanyaan yang belum Terjawab

Pada dasarnya filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kehidupan manusia. Filsafat tidak menjawab pertanyaan bagaimana mendapatkan baju baru, bagaimana cara naik bus menuju ke kampus, bagaimana menanak nasi, dan lain-lain.

Filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar semisal apa itu kebenaran? Apa itu keadilan? Mengapa harus bersikap adil? Mengapa manusia perlu bahagia? Apa tujuan hidup manusia? Apa yang dicari oleh manusia di dunia? Aya yang terjadi setelah kematian?

Berbagai filsuf lintas zaman mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Meski harus diakui bahwa hingga sekarang tidak pernah ada jawaban final dan komprehensif. Justru pertanyaan-pertanyaan tersebut kian berkembang dan jawaban-jawaban yang dikemukakan pun kian beragam.

Lalu buat apa kita mempelajari filsafat, padahal ia sendiri belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasarnya?

Tujuan belajar filsafat tidak melulu soal kepastian jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu. Justru dengan mempelajari pemikiran dan argumentasi para filsuf inilah kita dapat merangkai argumentasi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai konteks dan kondisi kita saat ini.

Berdasarkan pemikiran para filsuf itu kita melatih diri untuk kritis terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita sehingga kita tidak hanya menjadi pribadi yang pasif menerima apa adanya. Tapi aktif mencari dan menemukan alasan dan jawaban-jawaban hakiki atas kehidupan kita.

Ruang Lingkup Kajian Filsafat

Dalam perkembangannya, filsafat berkembang pesat sebagai ilmu dan mengkaji berbagai macam hal dan isu yang ada di dunia. Jika kita ingin melihat dari segi pokok permasalahan, filsafat mengkaji tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (Logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (Etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (Estetika) (Suriasumantri, 2007: 32).

Dari tiga pokok persoalan ini, kajian filsafat merangsek masuk ke dalam berbagai persoalan, baik itu persoalan yang terkait hakekat hidup bersama, politik, tujuan hidup, hingga penyelesaian berbagai problematika kehidupan.

Secara umum, cabang-cabang filsafat yang terlibat dan membicarakan kehidupan manusia di antaranya Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), Etika (Filsafat Moral), Estetika (Filsafat Seni), Metafisika, Politik (Filsafat Politik), Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum, Filsafat Sejarah, dan Filsafat Matematika (Suriasuamantri, 2007: 32-33). Juga, Filsafat Komunikasi, Filsafat Akuntasi, Filsafat Timur, Filsafat Jawa, Filsafat Pancasila, dan lain sebagainya.

Inspirasi

Kita telah melihat minat masyarkat kita terhadap filsafat dan bagaimana filsafat menorehkan perjalanan panjang sebagai sebuah ilmu yang hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup manusia.

Tokoh-tokoh filsafat mencoba menganalisa berbagai peristiwa di muka bumi, juga manusia sebagai makhluk rasional atau makhluk yang berpikir.

Kiranya, pemikiran-pemikiran para filsuf yang sudah kita bahas bisa menginspirasi kita untuk bertanya dan berdiskusi lebih giat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup kita.

Setidaknya, dengan demikian kita memaksimalkan fungsi dan peran kita sebagai manusia, (sekaligus mahasiswa) di mana nantinya kita bisa membawa pemikiran-pemikiran yang kritis, arif, dan bijaksana ke dalam masyarakat kita.

Ingat filsafat menuntun orang untuk merenung, mencintai, dan menggapai kebijaksaan. Bukan untuk menimbulkan kegaduhan, apalagi dimanfaatkan untuk mendiskreditkan, menindas, dan menyerang sesama manusia.

Rujukan

  1. Gaarder, Jostein (Penerj. Ramhani Astuti). Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Penerbit Mizan.
  2. Magniz-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  3. Mufid, Muhammad. 2010. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
  4. Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

*Ditulis oleh Stefanus Poto Elu, S.S, M.I.Kom, Dosen Ilmu Komunikasi pada Fakultas FISIP Universitas Bung Karno; Alumni Universitas Mercu Buana Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Artikel ini dibuat sebagai pegangan dan panduan belajar untuk mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *